HIV/AIDS : Hidup Sebagai ODHA
- CIMSA UIN
- Dec 5, 2018
- 3 min read
Hidup sebagai ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) pada saat ini tidak seburuk dulu, namun tetap menjadi sebuah tantangan menurut Bapak Septa Aditia selaku salah satu pengurus LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Positive Hope Indonesia. Bapak Septa sudah mengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus) sejak tahun 2006, beliau mendapatkan HIV melalui pemakaian jarum suntik bersama. Awalnya beliau tidak menyangka bahwa dengan menggunakan jarum suntik bersama dapat mengenai virus tersebut, dikarenakan menurut yang beliau dengar pada masa itu HIV hanya tertular jika kita melakukan hubungan seksual bukan hal lain, namun sekarang kebanyakan dari ODHA merupakan dari komunitas LGBT yang salah satu dari populasi kunci.

Awalnya Bapak Septa menyadari ada perubahan pada tubuhnya ketika tubuh beliau sudah menjadi lemas dan berat badannya turun, ketika beliau mengunjungi Rumah Sakit, dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan darah dan ketika dokter ingin menjelaskan hasilnya beliau didampingi oleh beberapa satpam yang gunanya untuk menahan Bapak Septa jika mengamuk. Dokter hanya mengatakan “Kamu sebentar lagi akan mati”, kalimat yang dikatakan oleh dokter tersebut ditambah dengan hasil HIV yang positif, sangat mengejutkan Bapak Septa. Pikiran “aku akan mati” terus bersama beliau selama di Rumah Sakit. Setelah melihat beberapa orang meninggal dunia di sekitarnya, Bapak Septa tidak ingin membiarkan hidupnya berakhir begitu saja. Dan dengan dukungan dari keluarganya terutama ibunya yang menemaninya ke rumah sakit dan adik perempuannya yang merawatnya ketika beliau jatuh sakit, beliau pun menumbuhkan semangatnya hidup kembali dan berkeinginan mengubah kebiasaan hidup menjadi lebih baik. Saat ini, kegiatan yang dilakukan oleh Bapak Septa adalah melakukan penyuluhan serta membagikan pengalaman hidupnya kepada orang lain karena beliau berharap kejadian yang beliau alami dapat dicegah dan tidak dialami orang lain.
Ketika semuanya seperti sudah tidak ada harapan, Bapak Septa terkejut kalau sudah ada obat dari HIV. Demi bertahan hidup, Bapak Septa harus meminum obat ARV (Antiretroviral) setiap harinya tanpa melupakan satu hari pun, beliau sudah mencoba berbagai macam obat ARV yang kala itu masih di tahap trial dan dengan harga yang tidak murah yaitu ±1.2 juta rupiah, beberapa obat tersebut bahkan membuat lemak-lemak di tubuh Bapak Septa terkikis dan hancur. Di masa itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang mendapat obat-obat “buangan” tersebut, namun belum ada hukum yang mengatur penggunaan obat tersebut. Hingga akhirnya pemerintah menetapkan peraturan bahwa hanya obat ARV yang sudah teruji serta terbukti aman saja yang dapat diberikan kepada ODHA untuk pengobatan. Obat ARV yang digunakan Bapak Septa juga diberikan secara gratis dari pemerintah. Akan tetapi sangat disayangkan, walaupun obat ARV untuk pengobatan diberikan secara gratis, masih ada beberapa ODHA yang tidak mau meminum obat dengan patuh, salah satunya adalah teman Bapak Septa. Kejadian seperti ini merupakan salah satu hal yang masih perlu diperhatikan untuk diberikan penanganan khusus atau edukasi lebih lanjut.
Setelah mengetahui bahwa dirinya mengidap HIV, Bapak Septa yang merupakan seorang duda satu anak, menemukan calon istrinya, yang tidak mengidap HIV. Bapak Septa yang awalnya khawatir dan takut justru mendapat kejutan ketika beliau memberitahu bahwa ia adalah seorang pengidap HIV, calon istrinya yang memiliki kakak seorang dokter justru memberi dukungan dan motivasi kepada Bapak Septa. Pada awalnya, Bapak Septa dan istri mengira bahwa mereka tidak akan bisa memiliki keturunan, akan tetapi setelah konsultasi dengan dokter ternyata mereka dapat memiliki keturunan. Dan setelah lahir pun, anak yang merupakan anak ke dua Bapak Septa lahir dengan sehat dan negatif HIV, begitu pula dengan istrinya yang sampai sekarang tetap negatif HIV.
Selama kehidupan menjadi ODHA, Bapak Septa tidak merasa bahwa statusnya sebagai ODHA mempengaruhi cara pandang keluarganya, namun stigma negatif yang dirasakan dirinya datang dari teman serta tenaga kesehatan. Teman-temannya menjauhi beliau, perawat sering menggunakan sarung tangan berlebih saat memeriksa beliau, dan bahkan sampai dokter yang sengaja melewati untuk tidak memeriksa beliau ketika dirawat di rumah sakit. Berbagai macam stigma negatif serta perlakuan tidak baik terhadap ODHA membuat banyak ODHA merasa terdiskriminasi dan sering memberikan dampak negatif terhadap harapan serta motivasi ODHA untuk hidup.
Oleh karena itu, Bapak Septa sangat berharap dengan dilaksanakannya kegiatan CIMSA untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap HIV/AIDS dapat merubah stigma negatif serta diskriminasi terhadap ODHA.

Comments